Jumat, 21 Maret 2008

Sistim irigasi Subak perlu dikembangkan ke seluruh Indonesia

22/03/08 10:59

"Subak" di Bali Tetap Eksis



Denpasar (ANTARA News) - Subak, organisasi pengairan tradisional dalam bidang pertanian di Bali mampu beradaptasi dengan teknologi modern dan kehadirannya tetap eksis hingga sekarang.

Organisasi bidang pengairan yang diwarisi secara turun-temurun sejak sepuluh abad silam itu sangat berperan dalam memberikan pelayanan kepada petani yang menjadi anggotanya, kata Dr Ir I Wayan Windia, dosen jurusan sosial ekonomi pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana di Denpasar, Sabtu.

Ia mengakui, subak dengan berbagai kendala dan kelemahan telah mampu memerankan sebagai suatu sistem irigasi yang berwatak sosiol budaya secara berkesinambungan.

Namun dalam perkembangannya, kini subak menghadapi banyak tantangan, dan mengalami proses marjinalisasi, termasuk semakin tersisihkannya sektor pertanian.

Perkembangan subak di Bali pada tahun 600 telah diketahui adanya kebudayaan pertanian lahan kering (parlak) dan lahan basah/sawah (huma).

Sedangkan tahun 1072 telah ada subak sesuai hasil penelitian Goris pada (1954). Sistem pertanian lahan basah (sawah) sudah ada sebelum abad ke-11.

Subak merupakan lembaga yang mengatur air ke sawah-sawah untuk pertanian, sistem irigasi yang baik, sangat efektif untuk memungut pajak tanah.

Windia menambahkan, subak dalam perkembangannya, semasa Bali dalam naungan Kerajaan Majapahit, tahun 1343, diangkat petugas "sedahan" yang mengkoordinasikan beberapa subak dalam satu wilayah sumber air.

Bagi lahan basah disebut Sedahan Yeh (Sedahan Tembuku atau Sedahan Tukad). Sedangkan untuk lahan kering disebut Sedahan Tegal atau Sedahan Abian. Pada tingkat daerah (wilayah kerajaan) para sedahan dikoordinasikan oleh Sedahan Agung.

Subak memiliki berbagai kearifan (kecerdasan) lokal yang telah diwarisi masyarakat pendukungnya secara turun-temurun.

Kearifan lokal tersebut antara lain memiliki sifat dasar sosio-kultural maupun sosio-religius yang unik dan unggul.

Kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan pada organisasi subak merupakan bagian dari kebudayaan. Kearifan lokal dalam organisasi subak berbasis konsepsi Tri Hita Karana dan mendapat apresiasi unirversal terkait dengan kandungan filosofi kosmos, theos, antropos, dan logos, yakni hubungan yang serasi dan harmonis sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan yang Maha Esa.

"Esensi kearifan lokal adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa religiusitas, subyektivikasi manusia dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk `jagadhita` (alam raya) berkelanjutan," ujar Wayan Windia.
(*)

COPYRIGHT © 2008

Kamis, 20 Maret 2008

Bantul dan Purbalingga adalah contoh Pemda pro petani

Bantul dan Purbalingga Berupaya Lindungi Petani
Pemkab Bantul Sediakan Dana Rp 3,5 Miliar
Rabu, 19 Maret 2008 | 00:22 WIB

Bantul, Kompas - Hingga saat ini baru Pemerintah Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Pemerintah Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah, yang memiliki kebijakan nyata untuk membela petani.

Kedua kabupaten itu berani membeli komoditas pertanian hasil petani setempat dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang melindungi petani.

Saat ini ketika harga gabah di pasaran turun hingga Rp 1.750 per kg, Pemkab Bantul siap memborong gabah seharga Rp 2.000 per kg sesuai dengan HPP.

Sementara itu, Pemkab Purbalingga melalui Perusahaan Daerah Pusat Pengolahan Hasil Pertanian Utama (Perusda Puspahastama) telah membeli 200 ton gabah petani dan akan kembali ”menyerap” 1.800 ton gabah milik petani Purbalingga.

Direktur Perusda Puspahastama Wachdiono, Selasa (18/3), mengatakan, belum seluruh gabah panen petani diserap karena panen padi di Purbalingga tidak serentak. ”200 ton gabah itu diserap dari enam kelompok tani dari 300 kelompok tani yang ada di Purbalingga. Ini baru sebagian,” kata Wachdiono.

Menurut dia, pihaknya tak hanya menyerap gabah dari kelompok tani, tetapi juga dari pengepul maupun pedagang gabah. Hanya, HPP Rp 2.000 per kg hanya diterapkan bagi gabah milik kelompok tani. Terhadap gabah milik pedagang, digunakan harga pasaran, yaitu lebih rendah dari HPP, Rp 1.700-Rp 1.800 per kg.

”Harga jual beras yang kami produksi akan mencapai Rp 4.500 per kg, sedangkan Bulog, kan, hanya Rp 4.000 kg. Hal itu karena kami menambah biaya produksi untuk mengeringkan gabah petani menggunakan bahan bakar solar, Rp 175 per kg,” katanya.

Sejak digulirkan tahun 2001, Pemkab Bantul secara khusus menyediakan dana Rp 3,5 miliar untuk membeli tujuh komoditas pertanian jika harga jual berada di bawah titik impas.

”Namun, sampai sekarang belum ada petani yang mau menjual padinya ke kami. Mungkin karena masa panen belum mencapai puncaknya. Sebagian petani lebih memilih menjual dalam bentuk beras,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul Edy Suharyanto, Selasa.

Selain gabah, ada enam komoditas pertanian lain yang harganya dijamin Pemkab Bantul, yakni jagung dengan titik impas Rp 1.300 per kg, kedelai Rp 3.000 per kg, kacang tanah Rp 1.500 per kg, cabai Rp 1.200 per kg, bawang merah Rp 2.000 per kg, dan tembakau Rp 14.000 per kg. Namun, sejak akhir tahun 2007, Pemkab Bantul menghentikan pembelian tembakau dan mengalihkan ke tanaman palawija.

”Paling sulit menjual tembakau karena hanya bisa ke pabrik rokok, atau perokok yang biasa melinting sendiri,” kata Edy.

Bagi petani Bantul, program stabilisasi harga membuat mereka tidak khawatir akan rugi dan tetap semangat bertani.

”Minimal yang saya peroleh adalah harga di titik impas,” kata Sudi, petani di Desa Baturetno, Banguntapan. (PRA/ENY/MDN/GAL)

Keluarga Harmonis, Tekanan Darah pun Rendah


Jumat, 21 Maret 2008 | 00:38 WIB

ANDA mungkin tidak menyangka bahwa kehidupan keluarga yang harmonis bakal mempengaruhi kesehatan Anda secara umum, terutama tekanan darah. Sebuah penelitian di awal hipotesisnya menyebutkan bahwa kehidupan keluarga yang membahagiakan sangat baik bagi tekanan darah. Sebaliknya kehidupan keluarga yang gonjang-ganjing terus menerus justru tidak lebih baik dibanding mereka yang hidupnya sendiri alias singel.

Namun, temuan kedua justru mengejutkan. Dikatakan bahwa orang yang sudah menikah justru cenderung lebih sehat dibanding mereka yang masih singel. Demikian diungkapkan sang periset, Julianne Holt-Lunstad.

Menurut asisten profesor bidang psikologi dari Brigham Young University ini, butuh waktu yang ada lama untuk meneliti lebih lanjut bagaimana kondisinya (kesehatan) dalam jangka waktu lama.

Penelitian yang yang dipublikasikan secara online oleh Annals of Behavioral Medicine, Kamis (20/3), melibatkan sekurangnya 204 pasangan dan 99 singel. Kebanyakan dari mereka adalah orang kulit putih. Tidak jelas, apakah hasilnya bakal sama bila etnik lain yang diteliti, jelas Holt Lunstad.

Para relawan ini memakai alat yang dapat merekam tekanan darah mereka di waktu-waktu tertentu secara acak selama 24 jam. Para peserta yang menikah juga mengisi kuestioner mengenai pengalaman mereka selama menikah.

Dari analisis yang dibuat ditemukan bahwa mereka yang menikah merasa lebih puas dan tekanan darahnya lebih rendah dibanding yang tidak selama 24 jam lebih pemantauan.

Namun demikian, ditemukan juga bahwa pasangan yang merasa tidak puas dengan pernikahannya memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibanding mereka yang singel. Sepanjang siang hari, rata-rata ketinggian mencapai poin lima, nyaris mendekati tanda-tanda bahaya.

"Saya pikir, penelitian ini layak diperhatikan," ujar Karen Matthews, profesor psikiatri, psikologi dan epidemiologi di Universitas Pittsburg. Karena adalah peneliti hubungan antara penyakit jantung dan tekanan darah tinggi.

Beberapa penelitian yang menilai risiko tingginya tekanan darah mempelihatkan bahwa kualitas pernikahan justru lebih rentan dibanding status pernikahan itu sendiri, jelas Karen.

Jadi, sangat masuk akal, bahwa kualitas lebih penting dibanding proses pernikahan itu sendiri ketika kita membicarakan soal tekanan darah , tegas Dr. Brian Baker, associate profesor psikiatri di Universitas Toronto.

Source: AP


ABD