Sabtu, 29 Desember 2007

Banjir cerminkan kebodohan, keterbelakangan, dan keserakahan bangsa

Pada awal reformasi, penulis pernah ditanya sama kawan dari Jerman, dan juga Jepang, mengapa di Indonesia banyak terjadi pembantaian warga, baik di Kalimantan (kasus pembantaian etnis Madura), Maluku, Poso, dll., dimana pembantaian sadis terekspos dengan telanjangnya di media, khususnya di internet. Pertanyaannya, apakah di Indonesia belum ada hukum yang melindungi hak warga negara dari segala macam ancaman dan gangguan dari pihak manapun.

Hal yang sama sekarang terulang dengan kejadian banjir yang berulangtahun entah yang keberapa, dan setiap ulang tahun perayaannya semakin meriah, yaitu ditandai dengan banyaknya tayangan media masa. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa bencana yang sudah dapat diperhitungkan dan ditanggulangi sebelumnya tersebut selalu berulang. Bukannya di Indonesia sudah ada Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian berikut puluhan ribu pegawainya yang pintar tentang bahaya banjir berikut penyebabnya. Mengapa tidak perencanaan yang bagus untuk mengatasi hal tersebut. Jawabannya adalah kayu hutan Indonesia adalah bernilai ekonomi tinggi yang menggiurkan nafsu setiap orang yang melihat untuk mendapatkan. Nafsu serakah menjarah hutan itulah yang menyebabkan banjir. Nafsu itulah yang menutup mata pejabat dan aparat dari bahaya yang akan menimpa, dengan sogokannya, dan nafsu itu juga yang menutupi rakyat, akibat kemelaratannya. Dan, nafsu itulah yang cermin dari kebodohan, keterbelakangan, dan keserakahan bangsa.

Tidak ada komentar: