Minggu, 06 Januari 2008

Teofilus Sarjiono : Sakit Berbuah Hidayah


Journey to Islam Oleh : Redaksi 27 Dec 2007 - 1:07 am
Saya lahir di Wonosari, Gunung Kidul, 9 Desember 1950, dengan nama Teofilus Sarjiono. Orangtua saya adalah penganut Kristen Pantekosta. Saya termasuk orang yang taat dalam menjalankan ibadah. Sepanjang masa saya menjalani agama lamaku itu kehidupan saya terjamin. Uang bukan masalah, sebab semua biaya hidup ditanggung agama saya saat itu. Semua fasilitas itu membuat saya sering lupa diri. Makan pun harus yang enak-enak. Seminggu sekali saya harus makan tongseng Amerika (makanan yang bahan dasarnya daging anjing).

Saat saya menjalani aktivitas agama lama saya kala itu, tiba-tiba saja saya jatuh sakit. Penyebabnya mungkin karena saya rakus makan daging. Badan saya membengkak dan perut membuncit. Beberapa penyakit seperti kolesterol, gula, dan ginjal, mulai menggerogoti tubuh saya. Dokter menganjurkan saya berhenti makan daging.

Tapi saya tidak menggubrisnya, hingga ginjal saya makin parah. Akhirnya, dokter menganjurkan saya untuk cuci darah.

Dari semenjak cuci darah inilah harta saya ikut “tercuci” pula. Malangnya, penyakitku tak kunjung sembuh, bahkan makin hari kian terlihat makin parah. Saya tidak bisa apa-apa saat itu.

Sekitar pukul 04.30 suatu pagi, saya mendengar suara adzan dari sebuah masjid. Dengan spontan saya menirukan lafadz “Laa ilaha ilallah “. Aneh, penyakit saya terasa hilang. Kata-kata itu saya ucapkan berulang-ulang, hingga ratusan kali. Ketika istri mengetahui bahwa saya mengucapkan kata-kata itu, dia mengingatkan,

“Mas, bacaan Laa illaha ilallah itu bacaan orang Islam. Bapak ‘kan orang Kristen, tidak baik mengucapkan kata-kata itu !”.

Saya jawab, “Biar berasal dari setan belang atau dari agama manapun akan saya ucapkan terus, karena setiap kali dibaca sakit saya berkurang !”.


“Keajaiban” itu tidak berhenti di situ. Suatu malam saya bermimpi seperti mendengar sebuah bisikan, “Pak Theo, kalau kamu ingin sembuh berobatlah kepada Bapak Abu !”. Maka saya pun berusaha mencari tahu orang yang bernama Pak Abu itu. Alhamdulillah, saya berhasil menemukannya. Beliau adalah seorang tabib beragama Islam.

Saat pertama kali bertemu, saya langsung mengatakan bahwa saya seorang Kristen yang ingin berobat. Pak Abu menjawab, “Saya ini mengobati penyakit, bukan mengobati agama. Saya tidak menolak siapa saja yang ingin berobat kemari. Insya Allah akan saya terima dengan baik.”

Setelah berdialog tentang penyakit yang saya derita, Pak Abu kemudian mengobati saya dengan cara Islam. Saya disuruh membaca Basmallah berulang-ulang, dan Pak Abu pun terus berdoa sambil memegang bagian badan saya yang sakit. Aneh, selama prosesi itu badan saya terasa sembuh sama sekali. Yang paling mengharukan, Pak Abu memberi saya obat secara gratis, karena saat itu saya tidak membawa uang.


Semenjak itulah saya mulai tertarik pada Islam. Saya mulai menghadiri pengajian di kampung, hingga rasa simpati saya pada Islam semakin besar. Akhirnya, 18 September 1993 saya mengucapkan kalimat syahadat di kampus UII Yogyakarta. Setelah itu istri dan kedua anak saya pun masuk Islam.

Setelah menjadi Muslim, saya sering diundang untuk mengisi ceramah pengajian. Saya pun aktif mengikuti kegiatan dakwah. Saya ingin menebus dosa. Jika dahulu saya banyak mengkristenkan orang Islam, sekarang saya ingin mendakwahkan Islam.

Karena sering menjadi penceramah, nama saya pun mulai dikenal. Bahkan saya pernah didaulat untuk menjadi pembicara pada sebuah tabligh akbar di Cirebon yang dihadiri sekitar 10.000 orang.

Seperti halnya teman-teman saya yang sudah masuk Islam terlebih dahulu, saya pun mengalami ujian berat, terutama dalam bidang ekonomi. Kehilangan pekerjaan, dikucilkan dari pergaulan, dicaci maki, adalah hal yang saya terima.

Saya dipecat dari pekerjaan tanpa mendapat pesangon. Walaupun demikian, rasa percaya diri dan iman kepada Allah semakin tebal. Semua itu saya hadapi dengan tabah.

Setelah menghadapi berbagai kesulitan, Allah SWT membukakan pintu anugerah yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Allah menitipkan sebuah rumah dan tanah kepada saya sekeluarga. Beberapa bulan lalu Allah mengundang saya dan istri untuk menunaikan ibadah haji dengan gratis. Alhamdulillah, hidup saya pun lebih dari cukup. Di balik itu semua, ada hal terindah yang saya rasakan, yaitu bertambahnya saudara dan lahirnya kedamaian hidup dalam naungan Islam. (dari : MQ/kotasantri)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 033/th.04/Rajab-Sya’ban 1428H/2007M

Tidak ada komentar: