Kamis, 21 Februari 2008

Bagaimanapun Bali Memang Indah

Kepariwisataan
Wayan Tegag dalam Gemuruh Wisata Bali
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Petani di Desa Kerobokan, Kecamatan Kuta, Badung, Bali, kini dikepung vila-vila mewah yang dibangun di atas sawah bekas milik mereka, Kamis (7/2).
Jumat, 22 Februari 2008 | 02:28 WIB

Sawah-sawah subur yang banyak digambarkan dalam kartu pos tentang citra Bali masa silam itu kini menjelma vila-vila mewah. Kemewahannya menutupi kehidupan petani yang tergusur ke sudut-sudut gelap.

Siang itu sangat terik. I Wayan Tegag (75) dan istrinya, petani di Banjar Umu Sari, Kecamatan Kuta, Bali, tengah menyabit rumput. ”Tanah untuk vila itu dulu milik kami, tapi kami jual,” kata Wayan Tegag, yang biasa dipanggil Rano, sambil menunjuk vila tepat di hadapannya.

”Pemiliknya orang asing, entah dari mana,” tambahnya. Sawah miliknya, seluas 20 are (satu are 100 meter), ia jual awal 1990-an ketika hampir semua wilayah Kerobokan masih berupa sawah. ”Waktu itu sawah saya dihargai Rp 10 juta per are. Sangat tinggi untuk harga saat itu,” katanya.

Tegag pun tergiur. Apalagi, sejak dulu, dia memang ingin punya rumah tembok. ”Tanah itu saya lepas, lalu saya membangun rumah dan membeli sapi,” kisahnya.

Beberapa tahun kemudian, Tegag baru sadar bahwa kawasan itu tengah dikembangkan menjadi kawasan vila dan perumahan eksklusif. Di atas bekas sawah Tegag kini berdiri vila megah berlantai tiga. Harga tanah di sana pun meningkat berlipat-lipat hingga Rp 100 juta-Rp 300 juta per are.

Kini, penyesalan Tegag juga berlipat-lipat. Dia menyesal, mengapa dulu mau menjual tanah warisan. ”Makelar tanah yang dulu membujuk menjual tanah pasti dapat untung besar,” kata dia.

Untuk menopang hidup, saat ini dia nandu (mengerjakan sawah orang lain), dengan pendapatan dibagi tiga; satu bagian untuk pemilik sawah dan sisanya untuk Rano. Dia masih harus mengeluarkan biaya untuk membayar dua karyawan, masing-masing Rp 20.000 per hari, serta biaya pemupukan sebesar Rp 400.000. Padahal, setiap panen, sawah garapannya hanya menghasilkan Rp 2 juta. Hasil panen itu hanya pas-pasan untuk membiayai kehidupan Tegag, istri, dan dua anaknya.

Di usia senja, Tegag memang masih menjadi tulang punggung keluarga. Dua anaknya, keduanya laki-laki berusia pertengahan 30-an, hingga kini masih menganggur. Anak pertamanya yang lulusan SMA mencoba melamar jadi pelayan di vila-vila di sekitar Kerobokan. Tetapi, ternyata tidak semudah itu mencari kerja di tanah sendiri.

Sebagian besar karyawan vila berasal dari daerah lain, seperti Jakarta atau daerah-daerah di Jawa. ”Anak saya enggak diterima kerja di vila. Kata mereka, usianya sudah terlalu tua dan dia dianggap enggak punya kemampuan,” ujar Tegag.

Menuju kehancuran

Normal saja mendengar sorak gembira menyaksikan laju industri pariwisata Pulau Seribu Pura itu. Juga fenomena terkini model kepariwisataan di Tanah Air, khususnya Bali dan Lombok, yang kian mengglobal terkait kehadiran investor asing yang ”membeli” dan menjadi ”pemilik” tempat-tempat pelesiran tersebut.

Hanya saja, kemajuan yang digapai itu tetap saja menyisakan kecemasan. Bahkan, dalam kasus pariwisata Bali, berbagai pihak berani melukiskan bahwa derap perekonomian Pulau Dewata yang bertopang pada dunia kepariwisataan itu kini sedang menuju ke kehancuran.

Wayan Windia, pakar subak (sistem irigasi tradisional di Bali) dari Universitas Udayana, mengingatkan bahwa landasan utama pengembangan pariwisata Bali adalah pertanian. Sementara pertanian itu sendiri yang didominasi persawahan pasti bersentuhan dengan sistem subak. Alasannya karena seluruh aktivitas persawahan di Bali dikelola oleh sebuah sistem bernama subak.

”Napas subak itu sangat ditentukan oleh keberadaan lahan dan air. Kehadiran pariwisata di sisi lain ternyata terus menggerogoti lahan petani serta kandungan air yang dimiliki. Ini semua merupakan ancaman serius, yang pada saatnya akan menghancurkan pariwisata sekaligus perekonomian Bali,” tuturnya.

Kecemasan senada disuarakan Ketut Suardika (36), Wayan Suada (56), dan sejumlah petani lain di lingkungan Subak Deloh Tunduh, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Gianyar. ”Karena itu, kami bersepakat untuk tetap menutup kawasan subak di lingkungan Deloh Tunduh dari akses jalan raya. Ada banyak contoh kalau jalan raya sudah masuk, areal subak langsung terancam,” tutur Suardika, koordinator subak itu.

Alhasil, semua pihak diingatkan untuk tidak cepat bergembira menyaksikan geliat pariwisata Bali sebagai kesuksesan gemilang. Geliat itu sesungguhnya berjalan seiring langkah negatif yang terus menggerogoti pertanian sebagai landasan utama pariwisata Bali. Lihatlah I Wayan Tegag yang terlempar ke sudut gelap di balik sukses itu.... (ANS/BEN/AIK/IRN)

Tidak ada komentar: