Selasa, 05 Februari 2008

Terbenamnya Cakar Ayam di Tol Bandara

Terbenamnya Cakar Ayam
Rabu, 6 Februari 2008 | 02:19 WIB

YUNI IKAWATI

Hujan berintensitas tinggi di Jakarta awal Februari lalu mengakibatkan tergenangnya sebagian ruas jalan di Jalan Tol Sedyatmo yang menghubungkan Bandara Soekarno-Hatta di Banten dengan Jakarta. Adakah upaya mengatasinya?

Penurunan permukaan fondasi cakar ayam sesungguhnya memang akan terjadi dan tingginya subsidensi ini telah diprediksi. Menurut Bambang Suhendro, pakar konstruksi cakar ayam dari Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, itu terjadi karena proses konsolidasi timbunan tanah lunak di bawah fondasi cakar ayam. ”Penurunan Jalan Tol Sedyatmo selama 25 tahun sejak tahun 1984 mencapai 1 meter,” ujar Bambang.

Prediksi penurunan itu dibuat dengan melihat kondisi lingkungan yang ketika itu masih berupa hutan. Pada tahun 1982 hingga 1983 di kiri dan kanan jalan tol sepanjang sekitar 27 kilometer (km) itu masih berupa hutan kelapa dan rawa, ujar Budi Santosa, Kepala Subdit Perencanaan Teknis Direktorat Sungai, Danau, dan Waduk Departemen Pekerjaan Umum (PU). Namun, sekarang kawasan itu telah berubah fungsi menjadi pergudangan dan permukiman.

Perubahan peruntukan lahan itu dilakukan dengan menimbun daerah rawa yang menjadi tempat penampungan air di sekeliling jalan. Hal itulah yang menyebabkan permukaan air naik hingga menggenangi jalan tol tersebut.

Solusi

Mengatasi tergenangnya ruas jalan sepanjang 3 km di Jalan Tol Sedyatmo, menurut Bambang, tim peneliti di Laboratorium Struktur Teknik Sipil UGM telah menawarkan solusi berupa penimbunan jalan menggunakan material ringan. Berat volume material itu masih dirahasiakan.

Penimbunan dilakukan dengan sistem cetakan sehingga pengerjaannya lebih mudah dan tidak mengganggu lalu lintas.

Sementara itu, jelas Budi Santoso, Departemen PU telah merencanakan penambahan satu jalur, masing-masing di kiri dan kanan pada ruas jalan tol yang tergenang sepanjang 3 km. Untuk itu akan dibangun tiang pancang yang akan menumpu konstruksi jalan. Dengan tiang pancang itu, jalan akan lebih tinggi dibandingkan jalan lama.

Jalan baru sepanjang 7 km, yang akan mulai dibangun Maret mendatang, diharapkan dapat mengatasi terputusnya lalu lintas pada ruas jalan pada Km 24 hingga Km 28 setiap kali hujan dengan intensitas tinggi.

Banjir di tol ini terjadi akibat permukaan jalan lebih rendah dari permukaan air sungai dan genangan di sekitarnya. Penelitian yang dilakukan tim peneliti Delft Hydraulics bekerja sama dengan Departemen PU tahun 2007 menunjukkan, di Pasar Ikan dan Pluit terjadi penurunan 60 sentimeter (cm) sejak tahun 1989 hingga 2007. Kondisi yang sama diperkirakan terjadi di kawasan Cengkareng yang berjarak sekitar 13 km dari Pluit.

Cakar ayam Sediyatmo

Sistem fondasi cakar ayam ditemukan oleh RM Sediyatmo pada tahun 1961 ketika akan membangun tiang listrik di daerah rawa di Ancol yang bertanah lunak. Ketika itu pembangunan tiang listrik itu dimaksudkan untuk memasok listrik dari PLTU Muara Karang bagi penyelenggaraan Asian Games tahun 1962 di Gelanggang Olahraga Senayan.

Fondasi rancangannya terdiri dari sejumlah pipa beton yang panjang dan ditanam dalam tanah. Di atas pipa-pipa itu dicor pelat beton hingga sejumlah pipa itu terhubung satu sama lain. Pelat ini yang menjadi landasan bagi konstruksi yang dibangun di atasnya.

Cakar ayam berbeda dengan fondasi sumuran yang menumpu pada tanah keras di dasar pipa. Sedangkan cakar ayam mengambang di dalam massa tanah membawa bangunan di atasnya.

Sejak berhasil menancap di Ancol, cakar ayam selanjutnya diterapkan pada Jalan Tol Sedyatmo dan juga dipasang pada Bandara Soekarno-Hatta. Bandara ini berdiri di atas tanah reklamasi berupa material pasir yang diambil dari beberapa pulau di Kepulauan Seribu.

Konstruksi cakar ayam selain sebagai penguat slab beton, juga menahan beban secara merata dan tidak bergetar dilewati oleh kendaraan di atasnya. Fondasi ini dirancang untuk mampu menanggung beban pada satu roda hingga 45 ton.

Sebelum Cengkareng, konstruksi ini juga digunakan di Bandara Juanda, Surabaya, sehingga dapat dilandasi pesawat terbang DC10 dan B 727. Landasan dengan sistem konstruksi ini bahkan mampu menahan beban 2.000 ton atau sekelas super jumbo jet.

Keunggulan konstruksi ini menarik perhatian dunia untuk kemudian menerapkannya. Tercatat ada 9 negara lain yang menggunakan paten temuan ini, yaitu Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Belgia, Kanada, Amerika Serikat, Belanda, dan Denmark.

Cakar ayam modifikasi

Teknologi konstruksi ini belakangan terus disempurnakan, antara lain dilakukan oleh Bambang Suhendro, Hary Christady, dan Masyadi Darmokumoro yang tergabung dalam Tim Pengembangan Cakar Ayam Modifikasi (CAM).

Penemuan ketiga pakar tersebut, jelas Direktur Cakar Bumi, Mitra Bani, telah diterapkan pertama kali pada tahun 2005 sebagai fondasi jalan pengalihan sementara sepanjang 800 meter pada pembangunan jalan layang di Ancol.

Uji coba skala penuh konstruksi CAM ini dilakukan di jalan pantura Indramayu-Pamanukan. Selain itu, jalan tol seksi 4 di Makassar juga menggunakan jenis konstruksi ini, yang menurut rencana selesai pembangunannya Mei mendatang.

Dibandingkan cakar ayam konvensional, CAM memiliki beberapa kelebihan. Pada sistem lama berat pipa mencapai satu ton, sedangkan pipa pada sistem CAM hanya 35 kg, tetapi memiliki kekuatan yang setara.

Dengan bobot yang ringan tidak diperlukan pemadatan tanah untuk transportasinya, selain itu subsidensi tanah juga lebih kecil.

Tidak ada komentar: